Kamis, 21 Mei 2009

Organisasi Mahasiswa: Pembelajaran dan Pengabdian

Menjadi mahasiswa adalah kesempatan. Masuk organisasi adalah pilihan. Ya, dari sekian anak negeri ini yang lulus dari Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK) hanya sebagian kecil yang meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Oleh karena itu, besar harapan masyarakat terhadap kaum muda yang bergelut dengan dunia intelektual ini.

Fenomena mahalnya biaya pendidikan, menuntut mahasiswa untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Sehingga segala energi dikerahkan untuk mengondol gelar sarjana/diploma sesegera mungkin. Tak ayal lagi tren study oriented mewabah di kalangan mahasiswa.

Tapi apakah cukup dengan hanya mengandalkan ilmu dari perkuliahan dan indeks prestasi yang tinggi untuk mengarungi kehidupan pasca wisuda? Ternyata tidak. Dunia kerja yang akan digeluti oleh alumnus perguruan tinggi tidak bisa diarungi dengan dua modal itu saja. Ada elemen yang lebih penting, yakni kemampuan soft skill. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan berkomunikasi dan bahasa, bekerja dalam satu team, serta kemampuan memimpin dan dipimpin.



Kapabilitas soft skill ini tidak diajarkan lewat bangku kuliah. Namun, bisa didapatkan melalui organisasi-organisasi mahasiswa, baik itu Organisasi Intra Kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, Unit Kegiatan Mahasiswa, Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala), dan Koperasi Mahasiswa, maupun Organisasi Ekstra Kampus semisal Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Front Mahasiswa Nasional, Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan lain sebagainya. Lewat media inilah seorang mahasiswa bisa menempa diri, belajar berkomunitas, dan berinteraksi dengan banyak pemikiran.

Hal yang ingin penulis tegaskan di sini adalah keberadaan organisasi mahasiswa menjadi penting karena kemanfaatannya terpulang kepada mahasiswa itu sendiri. Mungkin ada yang takut ketika masuk organisasi waktunya untuk belajar akan terganggu yang pada akhirnya berpengaruh kepada lamanya studi. Penulis katakan memang ada sebagian kecil mahasiswa yang lalai kuliah akibat terlalu sibuk mengurus organisasi. Tapi kenyataan juga membuktikan, betapa banyak penggiat organisasi yang berhasil lulus tepat waktu, dan dengan indeks prestasi yang sangat memuaskan. Jadi ini hanyalah masalah manajemen waktu.

Selain berfungsi sebagai pembelajaran diri, organisasi mahasiswa merupakan wahana bagi mahasiswa berempati dengan situasi yang terjadi di masyarakat. Negara berkembang layaknya Indonesia, banyak dihadapkan masalah-masalah sosial terutama menyangkut kesenjangan ekonomi, kecurangan, ketidakadilan, dan ketidakstabilan politik. Organisasi mahasiswa membawa para anggotanya bersinggungan langsung dengan persoalan-persoalan ini, sekaligus mengugah rasa kritis untuk mencari solusi atas apa yang terjadi.

Organisasi mahasiswa menjembatani domain menara gading kampus yang elitis dengan ruang masyarakat. Sehingga, ketika terbiasa menghadapi problem kehidupan, mahasiswa tidak lagi canggung bergumul dengan ruang baru, baik di masyarakat maupun di dunia kerja selepas lulus dari perguruan tinggi.

READ MORE - Organisasi Mahasiswa: Pembelajaran dan Pengabdian

The Agent of Change

*****

Organisasi Mahasiswa saat ini menunjukkan tren menurun baik segi kualitas maupun kuantitas. Buktinya adalah berkurangnya anggota baru yang terekrut dan ketidakjelasan arah perjuangan. Ujaran-ujaran bahwa aktivis mahasiswalah yang berhasil menumbangkan rezim otoriter dan pujian sebagai “the agent of change” agaknya menjadi euforia, yang kini tak mampu lagi membangkitkan idealisme.

Selama ini agent of change dimaknai sebagai heroisme melalui aksi-aksi turun ke jalan dalam mengkritisi ketimpangan-ketimpangan yang dilakukan oleh pemerintah dan parlemen. Militansi dipahami ketika demonstrasi berujung bentrok dengan aparat.

Mungkin banyak aktivis yang mengobarkan semangat melalui kilasan sejarah keberhasilan mahasiswa 1966 menumbangkan Orde Lama, 1974 meradang ke Soeharto, 1998 melengserkan penguasa Orde Baru ke Prabon. Kesan yang ditonjolkan adalah adanya musuh bersama yang mesti dilawan. Itu sah-sah saja sebagai fakta sejarah republik ini. Namun, harus dipahami bahwa kegarangan mahasiswa pada saat itu tidak terlepas dari kungkungan rezim otoriter yang mengekang kekebasan demokrasi.

Hari ini situasi berbeda. Tidak ada lagi tindakan refresif, pemerintah tidak lagi alergi dengan demonstrasi mahasiswa, ruang menyampaikan pendapat dibuka seluas-luasnya baik di depan umum maupun lewat media, dan tidak ada lagi aktivis yang ditahan karena sikap keras terhadap pemerintah. Mencermati situasi ini sebuah keniscayaan organisasi mahasiswa harus merubah paradigma. Harus ada warna kekinian yang menjiwai gerakan organisasi mahasiswa.


Penulis merumuskan paling tidak ada tiga paradigma baru yang mesti menjadi roh organisasi mahasiswa. Pertama, ideologi kemanusiaan. Organisasi Mahasiswa sampai hari ini masih terjebak pada persoalan ideologi yang membuat mereka saling bertarung satu sama lain. Akibatnya, terjadi perebutan lahan dan kader-kader baru. Hal ini menjadi kontraproduktif dalam penyelesaian masalah-masalah bangsa. Oleh karena itu, perlu dilakukan migrasi dari ideologi sektarian menuju ideologi kemanusiaan yang bersifat universal.

Kedua, aksi berbasis intelektual. Selama ini demonstrasi yang dilakukan organisasi mahasiswa cendrung tidak matang karena emosi dan keharusan respon yang cepat. Sehingga pembahasan konsep tidak matang. Di Jerman misalnya, para mahasiswa sebelum turun ke jalan mengkaji secara komprehensif problem yang akan mereka suarakan. Bahkan kajian dilakukan layaknya penelitian. Jadi lewat pemikiran yang matang dan perencanaan yang sistematis, aksi dapat terkontrol, berbobot, dan bisa menyakinkan pihak-pihak yang berkepentingan.

Ketiga, tak sekedar wacana. Organisasi mahasiswa memang telah berhasil membentuk kader yang kritis, vokal dan pintar beretorika. Namun, persoalan tidak terpecahkan hanya lewat diskusi dan dataran teorititasi saja. Oleh karena itu, wacana yang diusung oleh mahasiswa juga mesti menyentuh aspek-aspek aplikatif. Misalnya ketika mahasiswa marah karena pemerintah menaikkan harga bbm harusnya dibarengi aksi nyata memakai sepeda.

Demikianlah, tiga tantangan yang menjadi pekerjaan rumah khususnya bagi para pengurus organisasi mahasiswa, dan mahasiswa secara keseluruhan, yang mesti segera ditindaklanjuti. Mudah-mudahan dengan dinamisasi ini, organisasi mahasiswa tetap eksis dalam peran perubahan bangsa menuju rakyat yang adil, makmur, dan sejahtera.
READ MORE - The Agent of Change

Labels

Blogumulus by Dokter and Haedir